
Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria menilai Pemerintah Indonesia dapat mengikuti jejak sukses Brasil dalam mengembangkan bahan bakar ramah lingkungan pengganti Bahan Bakar Minyak (BBM) bensin, yakni bioetanol. Adapun bahan baku bioetanol bisa berasal dari molase tebu, singkong, dan lainnya.
“Brasil adalah contoh negara yang saya kira sukses melalui etanolnya. Saya kira Brasil negara yang sangat sukses,” kata Arif dalam acara Rakornas REPNAS 2024 di Jakarta, Senin (14/10/2024).
Di sisi lain, Arif juga mengungkapkan bahwa apa yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah Estate Management untuk perkebunan. Sebab, di Malaysia sendiri, Estate Management telah memberikan contoh sukses dalam pengembangan industri sawit.
“Jadi ini pesan yang mengapa industri sawit Malaysia sangat kompetitif, karena memang dari awal Mahathir sudah menyiapkan Estate Management, manajemen untuk perkebunan yang kawasan-kawasan besar. Sehingga sawit Malaysia produktivitasnya lebih tinggi, karena mereka sejak dari awal mindset-nya sudah Estate Management,” tambahnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen mengatakan pemerintah telah menyiapkan 700 ribu hektare (Ha) lahan untuk budidaya tebu hingga 2028 guna mengejar swasembada gula dan pengembangan industri etanol di dalam negeri.
Hal tersebut termuat di dalam peta jalan yang menjadi amanat Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel).
“Dari Perpres saja kita harus menyiapkan lahan baru 700 ribu Ha sampai tahun 2028-2030 dimana untuk pangan saja kita harus bisa memenuhi kebutuhan gula baik untuk konsumsi dan untuk industri, kata dia dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia, dikutip Rabu (29/11/2023).
Ia pun menilai untuk merealisasikan target penanaman tebu hingga 750 ribu Ha tersebut bukanlah perkara mudah. Pasalnya, proses dari penyiapan benih tebu hingga proses penanaman memerlukan beberapa tahapan yang cukup panjang.
“Tidak semudah ketika kita menyiapkan benih misalnya padi atau tanaman yang lain, kita ini perlu tahapan-tahapan bahkan kalau kita mau sempurnakan maka ada lima tahapan tanaman bibit tebu yang itu setiap tahapannya bisa makan waktu 5 sampai 8 bulan,” kata dia.
Apalagi, pemerintah juga perlu membangun pabrik gula dan pengolahan bioetanol di sekitar lahan yang akan ditanami bibit tebu. Setidaknya, untuk setiap 20 ribu Ha saja, minimal pabrik gula yang harus terbangun yakni 1 unit.
“Saya setuju lah untuk pemerataan pembangunan barangkali di Merauke, tetapi kita tidak bisa langsung ngomong aja di sana ada lahan kita nggak usah jauh-jauh lah di Jawa Barat di Jawa Tengah kalau lahan yang ditanami tebu masih banyak tapi apakah betul di sana ini nanti kita bisa mendirikan pabrik gula sesuai dengan tanah dan lingkungan sekelilingnya,” kata dia.
Seperti diketahui, Indonesia saat ini belum menjalankan mandatori pencampuran bioetanol secara nasional. Pencampuran bioetanol pada BBM baru dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) melalui Subholding, PT Pertamina Patra Niaga, dengan merek Pertamax Green 95 (setara RON 95) dengan campuran bioetanol 5% (E5).
Namun, produk ini belum dijual secara nasional, melainkan hanya di beberapa daerah saja, terutama di Jakarta dan Surabaya.