Fenomena frugal living di tengah kenaikan PPN 12 persen

Fenomena frugal living di tengah kenaikan PPN 12 persen

Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi BEM SI Kerakyatan menggelar aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Kamis (26/12/2024). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/YU.

Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen memunculkan berbagai reaksi di kalangan masyarakat.

Salah satu respons yang menarik adalah semakin maraknya tren frugal living atau gaya hidup hemat. Bagi sebagian orang, frugal living bukan hanya bentuk adaptasi, melainkan sebuah pernyataan sikap terhadap kebijakan fiskal yang dianggap membebani.

Dalam situasi ini, penting bagi semua untuk memahami bagaimana fenomena ini berdampak pada ekonomi, serta merumuskan langkah-langkah yang dapat diambil pemerintah dan masyarakat untuk menciptakan sinergi yang lebih baik.

Frugal living sendiri sebenarnya bukan hal baru. Gaya hidup ini telah lama dikenal sebagai strategi individu untuk mengelola pengeluaran dan mencapai kestabilan finansial.

Namun, dalam konteks kenaikan PPN, praktik ini tampak lebih sebagai bentuk protes sosial-ekonomi.

Sebagian masyarakat merasa bahwa kenaikan PPN langsung menyasar kebutuhan harian mereka, mengurangi daya beli, dan menciptakan tekanan tambahan di tengah situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih dari pandemi.

Meskipun PPN merupakan sumber pendapatan negara yang signifikan, sekitar 40 persen dari total penerimaan pajak, kebijakan ini memerlukan strategi komunikasi dan implementasi yang matang agar tidak menimbulkan kegelisahan sosial.

Indonesia sebenarnya bukan satu-satunya negara yang menghadapi tantangan ini. Banyak negara lain juga menerapkan PPN sebagai instrumen fiskal utama.

Sebagai perbandingan, rata-rata tarif PPN di Uni Eropa mencapai 21 persen, dengan Hungaria berada di puncak sebesar 27 persen, disusul Swedia dan Denmark dengan 25 persen, sebagaimana dikutip dari Global VAT Compliance.

Meski lebih tinggi, negara-negara tersebut berhasil meminimalkan dampak negatif melalui kebijakan kompensasi seperti subsidi energi, pengurangan pajak penghasilan, atau program sosial yang terfokus pada kelompok rentan.

Misalnya, Jerman, yang memiliki tarif PPN sebesar 19 persen, memberikan potongan pajak tambahan bagi keluarga berpenghasilan rendah saat menaikkan PPN pada 2007.

Langkah ini menunjukkan pentingnya pendekatan inklusif dalam penerapan kebijakan pajak yang sensitif.


Tren global

Namun, bagaimana posisi Indonesia dalam konteks ini? Dengan PPN 12 persen, Indonesia masih tergolong di bawah rata-rata global.

Tetapi jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, tarif PPN di Indonesia terbilang cukup tinggi.

Awalnya, sejak pertama kali diberlakukan pada 1983, tarif PPN di Indonesia hanya sebesar 10 persen dan tidak mengalami perubahan selama hampir 4 dekade lamanya.

Stabilitas ini berubah di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, ketika pemerintah menaikkan tarif PPN menjadi 11 persen pada 1 April 2022. Kemudian, kebijakan ini akan berlanjut dengan rencana kenaikan menjadi 12 persen pada 2025.

Peningkatan tarif PPN ini membuat posisi Indonesia cukup menonjol di kawasan Asia Tenggara.

Berdasarkan laporan Worldwide Tax Summaries yang dirilis oleh konsultan keuangan global PricewaterhouseCoopers (PwC), beberapa negara lain di kawasan ini menerapkan tarif PPN yang lebih rendah.

Sebagai contoh, Laos dan Kamboja menetapkan tarif PPN sebesar 10 persen, sedangkan Singapura dan Thailand masing-masing mematok tarif 7 persen.

Sementara itu, negara lainnya seperti Brunei Darussalam bahkan tidak mengenakan PPN pada transaksi domestik, dan Timor Leste hanya mengenakan tarif 2,5 persen untuk barang dan jasa impor.

Sebaliknya, ada juga negara-negara di kawasan ini yang menerapkan tarif PPN mendekati atau bahkan lebih tinggi dari Indonesia.

Filipina, misalnya, telah lama menerapkan tarif PPN sebesar 12 persen, dan Vietnam menggunakan sistem dua tingkat dengan tarif 5 persen dan 10 persen tergantung jenis barang atau jasa.

Myanmar, di sisi lain, memulai dengan tarif 5 persen tetapi dapat meningkat hingga 100 persen untuk beberapa barang atau jasa tertentu.

Dalam konteks ini, kenaikan tarif PPN di Indonesia mencerminkan tren global yang berupaya memperluas basis pajak untuk menopang anggaran negara.

Akan tetapi, struktur ekonomi Indonesia, di mana sektor informal dan kelompok berpenghasilan rendah mendominasi, membuat kebijakan ini lebih terasa berat.

Dampaknya bahkan lebih tajam jika dibandingkan dengan negara maju yang memiliki sistem perlindungan sosial lebih kuat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*