
Upaya RI untuk menggencarkan transisi energi, salah satunya dengan memanfaatkan minyak sawit menjadi biodiesel ternyata tak mulus. Sebab, ada sederet tantangan yang jadi masalah dalam pengembangan biodiesel.
Padahal, pemerintah tak ingin biodiesel hanya terhenti di B30, tapi ingin lanjut ke B40, B50, B60 dan seterusnya.
Di sisi lain, transisi energi untuk menekan emisi menjadi target yang harus dimaksimalkan pemerintah. Sehingga, di saat bersamaan, pemanfaatan sumber lain untuk transisi energi bersih terus dilakukan.
“Saya kira transisi energi bersih ini sudah menjadi sangat urgent. Karena kita berusaha membangun rendah karbon, menanggulangi krisis lingkungan, menjaga konektivitas energi, air dan pangan, sehingga mau tidak mau perlu shifting,” kata Rektor IPB Prof Dr Arif Satria dalam Rakornas REPNAS 2024 di Jakarta, Senin (14/10/2024).
“Untuk mendorong kebijakan energi bersih, yang mendorong investasi hijau, regulasi yang tegas terkait pemanfaatan sumber daya alam, pengembangan teknologi inovasi, efisiensi rantai pasok, dan perubahan perilaku,” tambahnya.
Dia mengatakan, setidaknya ada 10 komoditas yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber bioenergi. Pertama, sebut dia, sawit merupakan sebagai yang paling potensial dimanfaatkan dalam upaya transisi energi di Indonesia. Selain itu, ada sekam padi, karet, sampah, dan kayu. Juga, kata dia, ada sumber-sumber lain yang meski potensinya kecil, seperti tebu dan cassava (singkong).
“Ketika kita menghadapi energi mix memang ada sejumlah tantangan. Pertama, kita berhasil menerapkan B30, dan apakah kita mampu menerapkan B60? Kalau iya, ada sejumlah isu yang harus diperhatikan,” sebut Arif.
Isu tersebut, bebernya, menyangkut ketersediaan infrastruktur, harga, ketersediaan bahan baku, harga minyak dunia, perluasan lahan sawit dan isu lingkungan, peningkatan kompetisi penggunaan sawit untuk energi dan pangan, serta kesenjangan peluang oleh pelaku usaha skala besar dan kecil.
Dia juga menyoroti kebutuhan dana untuk insentif yang semakin tinggi, sementara BPDPKS memiliki keterbatasan karena trade-off antara alokasi anggaran dan implementasi mandatori biodiesel. Juga, efek dari selisih harga antara biodiesel dan solar.
Di sisi lain, ujar Arif, jika RI menaikkan besaran pungutan, maka akan menekan daya saing ekspor sawit RI.
Belum lagi, ada pro kontra pemanfaatan dana sawit-BPDPKS untuk biodiesel.
Tantangan lain, adanya kompetisi dari sisi pemanfaatan energi terbarukan. Yang disebutnya sebagai risiko pasar dalam pemafaatan biodiesel.
“Saya kira, adanya mobil listrik, biofuel, menghambat keberlanjutan industri biodiesel,” kata Arif.
“Pengembangan biodiesel masih tergantung insentif dari pemerintah. Pertumbuhan pasar domestik yang tinggi membuat produsen kurang tertarik masuk ke pasar internasional,” tukasnya.
Tak berhenti di situ.
Tantangan lain yang dihadapi dalam pengembangan biodiesel adalah hambatan dagang.
“Hambatan dagang terhadap produk biodiesel juga sangat tinggi. Pertama karena isu lingkungan, biaya logistik juga masih tinggi, serta permintaan bahan baku untuk biodiesel untuk meningkatkan harga minyak goreng. Di sisi lain B30 ini bisa menjaga keseimbangan harga CPO di pasar dunia, sehingga harga di petani baik,” paparnya.
Karena itu, imbuh dia, diperlukan langkah-langkah yang kemudian mengurangi intervensi pemerintah terhadap pasar domestik serta mendorong daya saing ekspor biodiesel.
Termasuk di dalamnya, kata dia, dengan menangani isu-isu lingkungan yang terkait dalam pengembangan biodiesel. Tak ketinggalan, target dan upaya Indonesia dalam penurunan emisi karbon.
“Kita perlu sejumlah strategi. Seperti mendorong peremajaan sawit, mengendalikan laju konversi lahan hutan untuk sawit, dan produktivitas sawit. Problem kita hari ini adalah, beli sawit, tanam, tahu hasilnya 5 tahun kemudian. Kalau kita nggak tahu kualitas bibit dari awal, ini sangat berisiko,” sebut Arif.
Karena itu, ujarnya, peran riset dan teknologi untuk perkebunan sawit adalah mutlak.