PT Pertamina (Persero) telah mencatatkan kisah sukses dalam menekan impor Bahan Bakar Minyak (BBM). Salah satunya, melalui program pencampuran Bahan Bakar Nabati (BBN) jenis biodiesel ke dalam minyak Solar hingga 35% (B35).
Senior Vice President (SVP) Teknologi Inovasi PT Pertamina Oki Muraza mengungkapkan bahwa perusahaan telah mengembangkan variasi bahan bakar untuk berbagai jenis mesin. Misalnya, mesin untuk kendaraan diesel, gasoline (bensin), hingga mesin pesawat yakni avtur.
“Nah success story kita itu ada di diesel. Ini kita mulai dari campuran B2,5 biodiesel dan telah berhasil meningkatkan campuran tersebut menjadi B35,” ungkap Oki dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia, Selasa (22/10/2024).
Oki mengatakan, saat ini pihaknya sedang berkoordinasi dengan Lemigas untuk melakukan uji jalan dengan campuran yang lebih tinggi. Menurut dia, cerita sukses ini memberikan kepercayaan diri yang lebih besar bahwa Indonesia dapat mengurangi impor BBM.
“Jadi dari kebutuhan diesel itu sekitar 31 juta kilo liter, itu dari FAME, dari biodiesel itu, kita bisa produksi saat ini hingga 13 juta kilo liter,” kata dia.
“Nah ini tentunya success story kita. Jadi untuk stream diesel itu laporan dari teman-teman dari Subholding Commercial dan Trading (Pertamina Patra Niaga) itu kita hampir tidak impor, kecuali memang kalau di kapasitas produksi kita ada problem, maintenance, turnaround, dan seterusnya. Ini success story diesel stream,” imbuhnya.
Sementara dari sisi pengganti bensin, bisa melalui bioetanol. Menurutnya, Indonesia bisa mengikuti jejak sukses Brasil yang berhasil melakukan pencampuran bioetanol pada BBM. Dia menyebut, secara nasional Brasil sudah menerapkan campuran etanol 27% atau E27, namun di beberapa kota sudah ada yang menerapkan penggunaan etanol 100% atau E100.
Begitu juga di India, India juga menaikkan campuran bioetanol pada BBM menjadi 20% dari awalnya hanya 2%.
“Bagaimana caranya kita memperkuat ketahanan energi di gasoline stream ini? Kita sudah memetakan beberapa bahan baku yang potentially available di Indonesia dan potentially to be produced in large capacity di Indonesia. Jadi kalau kita lihat saat ini dari pabrik gula, itu kita ada sekitar 700 ribu ton by-product-nya, namanya molase atau di Jawa istilahnya tetes. Dari situ kita bisa convert menjadi bioetanol dan kemudian kita blend ke stream gasoline kita. Saat ini Pertamina sudah memulai dengan 30 ribu plus 10 ribu, 40 ribu kilo liter kapasitas yang ada. Sudah kita blend menjadi Pertamax Green. Itu sekitar 5% bioetanolnya,” paparnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Eniya Listiani Dewi menyatakan tengah melakukan persiapan pelaksanaan mandatori biodiesel 40% (B40) pada 2025. Hal tersebut menyusul permintaan dari Menteri ESDM Bahlil Lahadalia saat memberikan arahan pada rapat pimpinan (Rapim) di lingkungan Kementerian ESDM, Selasa (20/8/2024).
Eniya membeberkan selain meminta percepatan penyelesaian rancangan undang-undang energi baru dan energi terbarukan (RUU EB-ET), Bahlil juga meminta agar pengembangan bioenergi dapat menjadi prioritas. Bahkan program mandatori biodiesel yang saat ini baru 35% (B35) ditargetkan dapat digenjot tidak hanya sebatas pada B50 tapi hingga B60.
“Bioenergi akan menjadi prioritas juga, kita lagi mempersiapkan B40 untuk mandatori ya. Mandatori nanti saya keluarkan insya Allah ini sudah settle di 1 Januari 2025,” kata Eniya usai Rapim di Gedung Kementerian ESDM.
Menurut Eniya, untuk menuju ke B40 setidaknya terdapat beberapa persiapan yang harus dilakukan oleh industri. Mulai dari mempersiapkan pelabuhannya, pengirimannya, dan logistik.
“Industri harus mempersiapkan ini, investasi akan butuh modal juga. Nah ini kita kasih waktu untuk persiapan sampai dengan Desember,” katanya.